Minggu, 22 Juni 2008

Menyusuri Lorong-Lorong Dunia

Membaca buku ini seperti menguntai imajinasi kita menyusuri sudut-sudut dunia yang menawarkan segenap kisah, kehidupan masing-masing negara yang berdenyut, dan asyiknya menemui budaya serta kebiasaan berbeda dari pribadi yang ditemui selama perjalanan. Sebuah pengalaman yang kata pengarangnya, "Takkan bisa digantikan dengan uang, sebuah harta seumur hidup yang tidak lekang."

Buku ini ditulis dengan gaya narasi yang santai, mengalir, dan penuh keluguan. Sigit mengurai pengalaman dan kisah perjalanannya secara gamblang. Kebanyakan malah cenderung naif dan agak klise. Seperti ceritanya sewaktu menemui rumah makan yang menjual makanan khas Indonesia yang membuatnya tercengang, atau pertemuannya dengan sesama orang Indonesia yang selalu dikaitkan dengan pengalaman terdahulu plus dibumbui pemikiran naif. Tak lupa ulasan sastra yang seringkali annoying dan tidak perlu, terlampau bertele-tele. Kesan yang muncul jadinya malah ceramah dengan pembaca.
Yang menarik perhatian, manakala ia mengunjungi Kuba, berkunjung ke negeri Che Guevara dan Fidel Castro, kaget dengan pola perdagangan masyarakat yang tidak lazim, pembelajaran anak-anak sekolah yang harus selalu menyanyikan hymne tentang Che, dsb. Jujur, saya juga tertarik dan cukup terkesan membaca kisahnya, khusus part ini..So touching.


Dari sini kita bisa tahu betapa Sigit sangat mengidolakan sastrawan dari Praha, Kafka yang ternyata sangat rendah diri. Bayangkan saja, publikasi karyanya dilakukan temannya setelah Kafka meninggal. Alasannya? Karena dia tidak pede dengan talentanya, selama ini Kafka memang bekerja sebagai sekretaris di suatu perusahaan.
Anehnya atau sayangnya, buku ini kurang dilengkapi dengan peta lokasi dimana Sigit melancong, ataupun jalur transportasi secara detail. seharusnya kekuatan cerita perjalanan ialah mampu menceritakan seting latar sebagai pendamping kisah tokoh utama secara rinci. boleh dijadikan bumbu, namun tidak mengurangi inti yang hendak disampaikan. Boleh jadi, dia baru belajar menulis. Maklum, ini karya pertamanya setelah bekerja sebagai guide wisata di Bali yang mengantarkannya menikah dengan orang Swiss. Sigit ahli bahasa Jerman sehingga melulu opininya dikaitkan dengan Jerman. Yah, ia harus belajar banyak bagaimana menulis yang benar-benar menulis, bukan menulis untuk menceramahi pembacanya.


Overal, karya ini cukup menyenangkan!!!

Tidak ada komentar: