Minggu, 22 Juni 2008

Tsotsi

Film berjudul serupa telah dibuat berdasarkan novel ini dan berhasil menyabet penghargaan Oscar 2006 untuk kategori film berbahasa asing terbaik. Mungkin tidak banyak orang yang tahu novel ini jika sebelumnya tidak diterjemahkan secara visual. Kebanyakan film yang menjadi sorotan ialah film terbaik, yakni Crash. Sebuah film yang mengangkat tema rasialis dan imigran dengan setting gelap dan keras.

Oke, hampir sama pula dengan Tsotsie. Tema yang diangkat tak jauh-jauh dengan kekerasan dan kekejaman seorang gangster berkulit hitam. Di Afrika Selatan, gangster kulit hitam disebut dengan istilah Tsotsie. Setiap harinya, gangster ini mencari korban-korban baru, mulai dari membunuh, memperkosa, merampok, bahkan menculik dengan uang tebusan tak segan-segan dilakukan. Semuanya demi satu tujuan, kepuasan dan uang.

Suatu waktu, tokoh bernama Tsotsie yang sebelumnya sudah kenyang dengan dunia hitam mencoba untuk berkontemplasi setelah menemukan seorang bayi. Ia tersentuh oleh kenyataan bahwa bayi yang dilahirkan masih belum tersentuh oleh dosa, sebuah pandangan tentang arti kemurnian, dan pembersihan diri. Sebuah hakekat yang mempertanyakan tentang arti sebuah hubungan, kekeluargaan, dan cinta. Bahwa manusia bisa dihadapkan pada pilihan antara hitam atau putih. Hitam untuk lebur dalam kegelapan dan putih untuk lebur dalam kebaikan.

Di sini, seolah-olah mengungkapkan kembali sebuah makna kebaikan dan kejahatan itu sendiri. Apa itu jahat? apa itu baik? kenapa bisa begitu? semuanya bisa ditelaah dan dianalisa. Bagaimana lingkungan membentuk pribadi dan kekuatan sebuah hasrat serta nurani. seberapa semuanya berpengaruh dan membentuk kepribadian.

Waduh, ribet ya..the point is...dimana pun kalian bergaul dan tumbuh, kekuatan hari nurani tidak akan luntur. sebuah kesadaran akan mencari hakekat kebenaran. seperti kata pepatah, "seorang penjahat besar sekalipun tidak akan menginginkan anaknya untuk menjadi penjahat seperti dirinya." Klise, tapi tetap mengena. Enjoy this!!!

Muhammad : Sebuah Biografi Kritis

Pertama kali lihat buku ini tidak begitu tertarik. Terlebih ama isinya. Tunggu dulu. Don't judge a book by its cover! Ya, meskipun desainnya minimalis, cover depannya termasuk eye catching-lah. Hehe..Toh, penulisnya pernah bikin buku tentang Perang Salib, at least sedikit banyak tahu tentang dunia Islam. Jadi, ikut pengin tahu ah...Apalagi baca latar belakangnya dia menulis ini karena dilandasi rasa penasarannya pada sosok yang bagi dunia Barat (ini mewakili Kristen) bercitra negatif.


Bukan hanya menyebarkan agama dengan penuh kekerasan, pakai pedang, namun juga poligami dan sama sekali bukan sosok pemurah, pemaaf, apalagi penuh kasih selayaknya Yesus (dia menyebutnya seperti itu). Tapi, yang ingin ditekankannya Muhammad atau Ahmad dalam bahasa Ibrani berari yang dipercaya - Al Amin - sebagai sosok yang manusia, seutuhnya, dan sebenarnya.

Tidak seperti, Yahudi yang menuhankan Yahweh dimana dituliskan penuh dengan kekuasaan, tidak seperti manusia, sifatnya jauh, apabila ingin dia bisa memusnahkan. Atau Kristen yang menganggap Yesus sebagai Tuhan. Muhammad muncul sebagai utusan Tuhan, setelah Yesus turun ke bumi menyebarkan perdamaian, awalnya khusus suku Quraisy kemudian ke seluruh umat manusia. Walaupun kelahirannya sudah diterakan pada kitab-kitab terdahulu, banyak yang menyangsikan. Benarkah dia terlahir sebagai penyempurna?

Jujur, gw kaget ketika baca buku ini. Amstrong menulis secara dangkal dan kurang mendalam. Di mataku, apa yang dijelaskannya hanya sekadar berusaha meluruskan siapa sebenarnya Muhammad itu. Meskipun dia berusaha memperbanyak literatur yang berkaitan dengan perjalanan hidupnya, toh buku ini masih muncul di permukaan. Perjalanan hidup Muhammad dijabarkan seperti tertera dalam buku-buku pelajaran atau riwayat singkat beliau yang pada majalah Islam. Sebagai biografi, apalagi kritis, buku ini masih kurang berbicara. Setidaknya, cara bertutur buku ini cukup kuat dan mampu merepresentasikan pandangan Barat terhadap Manusia Terhebat ini.

Manage Your Mind for Success

Lihat sampul buku ini sebenarnya sudah malas untuk membaca. Apalagi cukup banyak pula buku-buku sejenis yang bermain di bidang psikologi dan kepribadian seperti ini. Rata-rata menawarkan resep sukses yang seragam, monoton, dan bisa ditebak alurnya dengan mudah. Baca jadi terasa hambar, sama saja ketika saya menyimak karya Stephen R. Covey atau Dale Carnegie atau Michael Potter. Bahkan, tak urung buku-buku ini menjiplak pikiran dari penggagas konsep sukses ini. Buat apa baca ringkasannya coba?

Hm, semula saya hanya membuka-buka saja. Setengah malas dan antusias. Tapi, dugaan saya sepenuhnya salah. Buku ini cukup menawarkan perbedaan yang signifikan. Apa bedanya? Ariesandi dan Adi menjabarkan dengan lugas ide-ide mereka yang lebih menyentuh pada pemikiran. Simpelnya, jika ingin mengubah persepsi seseorang masukilah pikiran dan hatinya. Berikan perubahan itu secara mendalam dan komprehensif. Apalagi mereka juga memberikan contoh-contoh riil yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, membuat planning dan rencana jangka pendek maupun panjang, yang berkaitan dengan finansial/keuangan, keluarga, materi, pengembangan kepribadian, spiritual, dan sebagainya. Kenapa perlu dibuat blue print untuk perencanaan kehidupan kita? Agar gambaran yang bisa kita tuju semakin jelas dan membuat pola pikir dan bawah sadar akan terpola sehingga mampu mencapainya dalam waktu yang direncanakan. Sebagai stimulan.

Jadi, terinspirasi dengan mereka niy. Bahkan sesudah baca ini saya sudah punya gambaran apa yang akan saya lakukan setahun, lima tahun, dan sepuluh tahun lagi. Mau jadi apa kita? Semuanya perlu perencanaan untuk memudahkan dan memperjelas jalan kita ke depan.

So nice and highly recomended!!!

Mapping History Book


Mendapatkan anugerah sebagai buku terbaik versi Discover Book Award 2002, membuat buku ini memang sarat akan nuansa penjelajahan dan eksplorasi genetika manusia, DNA, gen, dan rumitnya kromosom yang ternyata setiap manusia diturunkan secara potongan identik oleh ibunya masing-masing. Ide awalnya, mirip dengan Harun Yahya yang mempertanyakan evolusi manusia, bedanya Steven lebih condong akur dengan postulat Darwin, Origin By The Species yang menghebohkan sejarah kehidupan manusia. Ia banyak bercerita tentang keragaman ras manusia yang setiap benua memang berbeda.


Ah, lalu ditelusurinya, awal mula manusia purba yang dengan klaimnya (?) abisnya, tidak ada literatur an sich, berujar asal manusia pertama kali di Afrika Timur lalu menyebar secara merata ke penjuru dunia. Ow, dan dia menyandingkan manusia purba - bisa berarti Australopithecus, Neanderthalensis, de el el ternyata hidup bersama manusia modern macam Homo Sapiens atau Erectus pada kurun waktu 100 ribu-200 ribu tahun lampau. Anehnya, mengapa mereka tidak kawin silang? Apakah mereka saling membunuh? Tapi tidak ditemukan sama sekali fosil dengan kepala retak karena pertengkaran. Ia juga menduga, manusia modern pertama kali hidup sejak 150 ribu tahun lampau berdampingan dua orang. Siapa itu? Adam dan Hawa dunk!


Trus, gimana penjelasan manusia purba? Apakah itu hanya rekaan semata dari paleontologis yang menganut evolosi Darwin sebagai pegangan. Hanya saja, belum bisa dibuktikan soal pencampuran ini. Apakah mereka musnah? Mustahil jika mereka berdampingan. Yang jelas, melalui penelusuran DNA dan gen serta kromosom dapat dianalisa bahwa setiap orang di bumi memiliki kromosom identik yang ternyata mengarah pada satu ibu tunggal!!


Benarkah dia Hawa? Sebagai pembaca yang punya background muslim, saya langsung menebak ini benar! Dan tidak ada hubungan dg manusia purba yg menurut Harun Yahya sebagai rekaan belaka. Bagaimana fosil? Ini pun tidak menjamin kevalidan. Yang jelas, kontroversi ini akan terus bergulir riuh!!! Kalau Anda penasaran dengan asal-usul nenek moyang Anda, buku ini harus dibaca. Disajikan dengan bahasa lugas, enak diikuti, tidak seperti buku ilimiah lainnya, pembahasan yang dipaparkan juga cukup asyik. So highly recommended!!

The Firm

Novel ini sebenarnya lawas. Sudah bolak-balik baca, tapi selalu belum selesai. Akhirnya kemarin sewaktu pinjem di perpus, berketetapan kudu selesai. Akhirnya finish juga. Hm, kisah ini cukup kompleks. Seperti biasa, dengan cerdas, Grisham memadukan aksi thriller yang menegangkan dengan plot-plot pelik, bumbu romansa, plus sepenggal kisah humanis yang cukup menyentuh.


Novel ini juga sudah difilmkan dimana Tom Cruise jadi bintang utamanya. Mendadak pengin segera nonton niy. Hehe, maklum kecanduan film yang berbau profesional karier gitu. Pasca menyaksikan Meryl Streep dalam Devil Wears Prada yang mengesankan, sekarang masih cukup membaca kisah serupa, namun jelas sekali ini jauh lebih rumit dan kompleks.

Alkisah, Mitchel MacDeere, mahasiswa lulusan Hukum Harvard University yang berotak cemerlang karena menghuni peringkat 3 besar lulusan terbaik. Dia menjadi incaran perusahaan besar yang menghendaki dia untuk kerja di sana. Mulai dari Wall Street hingga Chicago. Akhirnya, ia malah prefer ke biro hukum, Bendini Lambert&Locke, di Memphis, kota kecil. Bersama istrinya, Abby, ia mulai pindah ke kota kecil untuk memulai hidup barunya yang luar biasa. Seberapa luar biasa? Jika kata-kata tak cukup, maka fantastis adalah jawabannya. Imagine, bayaran di tahun pertamanya senilai 80 ribu dolar ditambah jatah BMW, cicilan rumah yang berbunga rendah - malah bisa dibilang dikasih cuma-cuma, plus tunjangan kesejahteraan disana-sini. Belum lagi bonus yang membuat Mitch terperangah dan ngiler tidak karuan.

Ternyata itu hanya kamuflase. Berikutnya, baru ia sadar hanya diperalat, sebagai mesin. Ia harus bekerja 72 jam seminggu, rata-rata 20 jam sehari! Gila, mesin pun takkan sanggup melakoninya. Tapi, yang paling fatal adalah ketika ia tidak lagi mampu memperoleh kebebasannya karena dikontrol di sana-sini. Kemarahannya melambung ketika beberapa orang yang bekerja di kantor itu tewas. Biro yang ternyata mendapatkan kasusnya secara ilegal. Intrik dengan FBI juga cukup menegangkan. Such a thriller novel!!

Gadis Pantai

Sebenarnya buku ini cetakan lawas. Cuma, dicetak ulang dengan format kertas yang lebih tebal dan cover eye catching. Berkisah tentang seorang gadis yang dikawinkan paksa dengan Bendoro, pembesar daerah pada waktu itu, novel ini sebenarnya trilogi. Hanya kelanjutan dua seri lainnya dimusnahkan oleh vandalisme Angkatan Darat dengan semena-mena. Maka, jadilah novel tunggal ini seperti cacat. Bukan dalam segi penulisan, alur atau penokohannya, namun ceritanya. Jujur, karya ini salah satu karya terbaik Pramoedya selain Tetralogi, Arus Balik, atau Bukan Pasar Malam. Mengungkapkan feodalisme suku Jawa yang masih teramat kental hingga mendudukkan wanita dan orang desa sebagai pelengkap hidup. Bukan pemain utama. Simak, kisah hidup Gadis Pantai yang terlunta semenjak kecil, dikawinkan, difitnah, hingga dipisahkan secara keji dengan anak kandungnya.


Alur cerita terjaga ketat melalui logika pemikiran yang tertata baik. Pram, seperti biasa asyik bermain-main degan sejarah yang dibalut fiksi, namun ketajaman tulisan seperti tak lekang waktu. Boleh jadi, kisah seperti ini representasi dari kondisi yang senantiasa terjadi pada masyarakat. Bahkan hingga kini. Dan, dengan fasih dituangkannya dalam bentuk tulisan- yang selain saya kecewa karena duologi lanjutannya hilang, juga masih belum jelasnya alur pada bab-bab awal. Rasanya, sebagai introduksi terlalu panjang. Jadi, biar saya berusaha konsisten menikmati susastra yang dimainkan, saya sedikit nakal. Mencoba baca halaman selanjutnya. Toh, saya masih bisa mengikuti alur selanjutnya. Beberapa kondisi juga sedikit digampangkan. Misal, betapa mudahnya Mardinah jatuh cinta dengan si pendongeng yang dianggap sinting oleh warga kampung?


By the way, karya ini wajib dikoleksi bagi pecinta Pram. Sebab novel ini turut menyumbangkan cerita realitas tentang kondisi yang terjadi pada masyarakat, baik dulu hingga saat ini. Masih terasa relevan dibaca sekarang pun. Dan, Pram memang tetap konsisten dengan hal ini hingga maut menjemputnya.

Sekali Merengkuh Dayung

Pertama kali membaca buku ini kita benar-benar merasa Diah Marsidi merupakan story teller yang hebat! Sungguh, meskipun seringkali membaca pengalaman orang lain di luar negeri hampir selalu menarik, namun Diah tampil beda. Apanya? Dia menghadirkan sisi-sisi humanisme-nya ke dalam setiap kisah dan pengalamannya yang terasa kaya dengan aspek kelokalan dengan nilai artistik.

Diah juga secara detail memberikan keterangan di setiap perjalanannya, seperti jalur transportasi, bagaimana dia menginap, bagaimana bertemu dengan orang lain, pribadi berkarakter, hingga deskripsi lokasi wisata yang melingkupinya. Hampir mirip dengan tokoh traveling Indonesia yang terkenal, H.O.K. Tanzil yang dulu pada 1980-1990-an intens menulis di majalah Intisari. Boleh jadi beliau tokoh favorit Diah. Namun, kita akan bisa menemukan perbedaan di antara keduanya. Tanzil memang rinci dan lebih membumi. Jika Anda ingat, saya pernah baca kisahnya ketika melintasi perbatasan Meksiko yang panas bukan alang kepalang, dengan cueknya dia hanya mengenakan celana dalam. Kebetulan, saat itu ia hanya didampingi istrinya.

Bedanya Diah, perjalanannya selalu sendiri. Bekal yang dibawanya ala kadar, terbatas, dan ia selalu pulang dengan membawakan oleh-oleh untuk temannya. Hm, yang jelas tujuan Diah berkelana untuk menemui karakter yang unik yang belum ditemuinya, memperkaya batin dan wawasan, berkontemplasi dengan nurani, serta meningkatkan sikap dan pemikirannya lebih terbuka terhdap segala sesuatu. Tak heran, kebanyakan perjalanannya ke tempat-tempat yang di mata turis Indonesia, tidak begitu lazim. Seperti ke pusat bumi, Machu Pichu, Peru yang membuatnya tidak sadar sejenak ketika meditasi akibat gejolak pusaran energi yang hebat, atau ke Italia untuk belajar bahasa bersama-sama dengan teman dari San Fransisco, main internet sampai malam, sampai pada Barcelona yang mengantarkannya menyaksikan tarian yang aneh. Wow, this is so inspirational...Jadi kebayang, nanti ke luar negeri mau kemana..Hehe.


Bagaimanapun, buku ini bukan sekadar perjalanan, tapi juga sebuah kontemplasi diri!!!

Menyusuri Lorong-Lorong Dunia

Membaca buku ini seperti menguntai imajinasi kita menyusuri sudut-sudut dunia yang menawarkan segenap kisah, kehidupan masing-masing negara yang berdenyut, dan asyiknya menemui budaya serta kebiasaan berbeda dari pribadi yang ditemui selama perjalanan. Sebuah pengalaman yang kata pengarangnya, "Takkan bisa digantikan dengan uang, sebuah harta seumur hidup yang tidak lekang."

Buku ini ditulis dengan gaya narasi yang santai, mengalir, dan penuh keluguan. Sigit mengurai pengalaman dan kisah perjalanannya secara gamblang. Kebanyakan malah cenderung naif dan agak klise. Seperti ceritanya sewaktu menemui rumah makan yang menjual makanan khas Indonesia yang membuatnya tercengang, atau pertemuannya dengan sesama orang Indonesia yang selalu dikaitkan dengan pengalaman terdahulu plus dibumbui pemikiran naif. Tak lupa ulasan sastra yang seringkali annoying dan tidak perlu, terlampau bertele-tele. Kesan yang muncul jadinya malah ceramah dengan pembaca.
Yang menarik perhatian, manakala ia mengunjungi Kuba, berkunjung ke negeri Che Guevara dan Fidel Castro, kaget dengan pola perdagangan masyarakat yang tidak lazim, pembelajaran anak-anak sekolah yang harus selalu menyanyikan hymne tentang Che, dsb. Jujur, saya juga tertarik dan cukup terkesan membaca kisahnya, khusus part ini..So touching.


Dari sini kita bisa tahu betapa Sigit sangat mengidolakan sastrawan dari Praha, Kafka yang ternyata sangat rendah diri. Bayangkan saja, publikasi karyanya dilakukan temannya setelah Kafka meninggal. Alasannya? Karena dia tidak pede dengan talentanya, selama ini Kafka memang bekerja sebagai sekretaris di suatu perusahaan.
Anehnya atau sayangnya, buku ini kurang dilengkapi dengan peta lokasi dimana Sigit melancong, ataupun jalur transportasi secara detail. seharusnya kekuatan cerita perjalanan ialah mampu menceritakan seting latar sebagai pendamping kisah tokoh utama secara rinci. boleh dijadikan bumbu, namun tidak mengurangi inti yang hendak disampaikan. Boleh jadi, dia baru belajar menulis. Maklum, ini karya pertamanya setelah bekerja sebagai guide wisata di Bali yang mengantarkannya menikah dengan orang Swiss. Sigit ahli bahasa Jerman sehingga melulu opininya dikaitkan dengan Jerman. Yah, ia harus belajar banyak bagaimana menulis yang benar-benar menulis, bukan menulis untuk menceramahi pembacanya.


Overal, karya ini cukup menyenangkan!!!

Sabtu, 21 Juni 2008

Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi

Belakangan ini, dunia sastra, khususnya, dihebohkan oleh munculnya novel yang sungguh sangat fenomenal – mungkin teman-teman yang mengikuti perkembangan beritanya sudah tahu – Laskar Pelangi. Karya seorang karyawan PT Telkom yang sama sekali tidak pernah bergelut di bidang kepenulisan atau sastra sama sekali, Andrea Hirata. Sosok yang sampai kini tetap rendah hati, bersahaja, dan penuh dengan ide-ide luar biasa.





Sebenarnya, dulu sebelum novelnya meledak, profil Andrea sudah wara-wiri diulas di pelbagai media cetak maupun elektronik. Bahkan sempat diwawancarai Andy F Noya dalam Kick Andy di Metro TV. Namun, saya masih belum sepenuhnya bergeming. Hingga suatu saat, pada hari Sabtu, tanggal 26 Januari 2008 kemarin ketika berkunjung ke TB. Toga Mas, saya melihat tumpukan novel-novel best seller, ada Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Ada lagi novelnya Habiburrahman El Shirazy yang juga tak kalah fenomenal, Ayat-Ayat Cinta –bahkan sudah difilmkan oleh Hanung Bramantyo.Terus terang, saya termasuk orang yang harus tahu dengan apa yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan orang. Padahal, saya sama sekali belum baca novelnya, meskipun masyarakat maupun media dengan penuh semangat membicarakan kedua novel yang so amazing ini. Maka, jadilah. Saya terkena ‘imbas’ hegemoni media yang dengan luar biasa mencitrakan novelnya sebagai yang terdepan, teratas, plus penuh dengan amanat. Bahkan, dikisahkan sampai ada yang menangis, tidak tidur semalaman, atau yang lebih heboh, seorang anak jadi sadar dengan pendidikannya hanya karena membaca Laskar Pelangi. Siapa yang tidak merinding dengar kisah seperti ini, oleh novel karya anak bangsa?


Padahal pasca hadirnya novelis wanita yang mengumbar seksualitas, emansipasi, seperti Ayu Utami, Fira Basuki atau Dewi ‘Dee’ Lestari, seolah novel di Indonesia bercitra gelap dan dianggap ‘rendah’. Hingga kemudian marak chicklit dan teenlit yang disukai gadis-gadis remaja oleh keringanan ceritanya. Baru saya tahu, ternyata ada juga novel berkualitas yang laris di pasaran.Setelah membaca dua-duanya, Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta, baru saya tahu mengapa banyak orang sampai minta hingga difilmkan segala. Laskar Pelangi bertema besar tentang pendidikan, sedangkan Ayat-Ayat Cinta bertema besar keteguhan cinta yang ditulis dengan bahasa puitis, bersayap, dan mendayu-dayu.



Bagi saya pribadi, Ayat-Ayat Cinta kurang begitu bagus. Maaf, sebelumnya jika ada yang langsung komplain. Bagaimana mungkin jika novel yang ditasbihkan sebagai novel terlaris pertama mengalahkan Harry Potter dibilang kurang begitu bagus? Namanya interpretasi bisa saja berbeda setiap orang. Bagi saya, Ayat-Ayat Cinta terlampau sempurna untuk ukuran manusia di bumi, dengan alur hidup tokoh utama yang di mata saya terlampau perfect (mana ada tokoh seperti Fahri di zaman sekarang yang serba beruntung dicintai oleh empat wanita sekaligus dan semuanya cantik-cantik?), dengan kondisi hidup yang dramatis – ingat, dijebak oleh wanita yang mengaku dihamili olehnya sehingga ia harus masuk penjara? Hm, selain itu, saya juga kurang begitu suka dengan gaya bahasa yang digunakan Kang Abik, panggilan akrab novelis ini, sebab terlampau transparan, tidak ada diksi yang menggoda, apalagi susunan kata lincah yang membuat efek emosional. Semuanya menjadi datar dan hambar, biasa saja.


Meskipun begitu, karena oleh muatan dakwah Islaminya yang cukup kental, tidak terasa nuansa menggurui, novel ini tetap terbilang sebagai a must read book.Lanjut ke Laskar Pelangi. Novel ini berkisah tentang persahabatan sepuluh orang di SD Muhammadiyah, daerah Belitong, yang selalu bersemangat dalam menempuh pendidikannya dan bercita-cita menjadi orang sukses. Bu guru Muslimah dan Pak Hanafi, sang kepala sekolah turut menempa pengetahuan anak-anak tersebut. Perlu diketahui, novel ini merupakan pengalaman hidup Andrea Hirata sendiri. Di sini, ia tidak banyak diceritakan, ia hanya berkisah tentang teman-temannya. Yang mengharukan, anak bernama Lintang – jeniusnya luar biasa – tetap bisa tertawa-tawa, meskipun menempuh jarak sejauh 80 kilometer pulang pergi hanya dengan mengayuh sepeda, lalu hanya sempat bernyanyi “Padamu Negeri” di akhir pelajaran sekolah karena telat. Ada lagi anak yang lainnya, yang tetap semangat meskipun kondisinya benar-benar kekurangan.






Tapi, dari semuanya yang membuatku tiba-tiba berefleksi dan kontemplasi adalah ketika Lintang yang putus sekolah – padahal sebentar lagi ujian nasional SMP – sebab ayahnya meninggal. Ia menjadi figur penopang ekonomi keluarganya sehingga harus keluar sekolah, mencari penghidupan sendiri.Tiba-tiba, aku tersadar oleh kondisi tersebut. Betapa tidak adilnya kondisi seperti ini. Saya seperti ditampar sekeras-kerasnya. Bisa jadi, di dekat kita, sebelah kost, di perkampungan kumuh, berdesak-desakan anak-anak kecil yang tidak bisa bersekolah dan menanti uluran tangan kita semua. Ketika membayangkan hal tersebut, tentu saja saya termasuk kaum yang diberikan keberuntungan luar biasa, mampu bersekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, kemudian duduk di bangku kuliah.


Sempat mengenyam bangku pendidikan, sementara jutaan anak-anak lain bekerja keras membanting tulang tanpa pernah tahu rasanya duduk diajar pelajaran Biologi, teori evolusi Darwin, teori ekonomi John Maynard Keynes, mengerti kisah inspiratif Hellen Keller, diagram Cartesian, menelusuri keindahan museum De Louvre, Madame Tussaud, memahami komponen listrik, semikonduktor, Coppernicus, postulat Newton, hingga berkelana menembus imaji padang sahara, Terusan Panama, segitiga Bermuda, atau Karl May yang asyik dengan senapan peraknya. Ah, dan apa yang bisa saya perbuat? Sudah saya pergunakan apa saja kesempatan yang telah diperoleh? Saya hanya duduk diam tanpa mengenal sepenuhnya hal tersebut.


Padahal dengan kesempatan tersebut, saya seharusnya bersyukur lalu mengikuti pelajaran dengan riang gembira, tekun dengan pelajaran, meraih cita-cita setinggi langit.Sekali lagi, saya merasa tertampar. Rasanya keberuntungan saya belum cukup untuk menembus semua itu. Bagaimana bisa saya yang diberi kemudahan dalam menuntut ilmu masih bermalas-malasan, tidak semangat? Bahkan, menghafal sebisanya? Kuliah hanya pada saat dibutuhkan, tidak mengerjakan tugas, ogah-ogahan mendengarkan pelajaran dosen. Sedangkan, yang lainnya malah sudah berjumpalitan bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Kondisi kontras ini membuat perut saya serasa diaduk. Munculnya novel ini seperti membuka pikiran saya bahwa pendidikan di Indonesia memang masih terlampau mewah bagi anak-anak miskin seperti mereka. Novel ini juga membuka mata saya bahwa jangan terlalu menjadi sosok individualis yang berlebihan.Berkutat dengan pencarian kerja yang memaksa diri juga sebagai perwujudan hal tersebut.


Terlebih lagi bekerja secara brutal tanpa memikirkan orang lain, apalagi masyarakat. Diri kita terlampau berharga untuk kita habiskan sendirian. Sudah sepatutnya kita juga sediakan waktu buat mereka yang membutuhkan, senyampang masih ada waktu, lebih baik tenaga, dan pikiran juga ada buat orang lain. Bahkan, dengan berpikiran seperti itu, juga akan mampu membuka rezeki kita dalam meraih pekerjaan yang diinginkan. Waduh, jadi seperti menggurui ya? Saya hanya curhat saja sesungguhnya. Kenapa sih kita seperti sibuk mencari identitas diri sendiri hingga dibutakan oleh kondisi sekitar kita? Cobalah lihat di sekitar kita dengan kondisi sosial yang perlu dengan uluran tangan. Pernah saya dulu mencoba terjun dalam bidang kesehatan, hanya saja kekurangan tenaga, sehingga akhirnya putus di tengah jalan. Banyak yang bisa dilakukan, semisal mengajar anak-anak kurang mampu atau terjun di dalamnya.


Ah, saya hanya membayangkan saja. Jika satu orang dermawan tergerak karena membaca novel Laskar Pelangi ini. Dan, banyak sekali yang kemudian bakalan tergerak, pasti Indonesia tidak lama lagi bakal bangkit dari kemiskinan. Sungguh, novel yang mampu mencerahkan.Terus, tujuannya tulisan ini apa? Maaf, jadi agak melantur. Nah, setelah saya baca keduanya, Laskar Pelangi memang lebih nampol. Bahasanya lugas, diksinya cantik, alurnya tidak terduga, dan yang penting membawa misi tentang pendidikan. Ternyata, anak kecil pun sudah sadar akan arti pentingnya pendidikan. Hampir mirip dengan film Denias Senandung Di Atas Awan. Hanya saja, novel ini bercerita tentang satu grup anak-anak dengan segala latar belakang dan kisah masing-masing. Di bagian ending novel juga diulas sekilas tentang profesi masing-masing anak kala sudah dewasa. Yang membuatku kaget bukan alang kepalang, ketika Ikal, panggilan Andrea Hirata, mendapati Lintang sedang bekerja sebagai sopir pengangkut barang.



Astaganaga, sosok jenius itu, yang putus sekolah, yang mampu membungkam guru sekolah favorit dengan argumennya tentang cincin Newton saat lomba cerdas cermat, yang menjadi andalan SD Muhammadiyah, yang dicintai teman-teman sekolahnya, yang menggerakkan mimpi teman-temannya untuk selalu memiliki cita-cita setinggi langit, yang bekerja demi keluarganya, yang terseok-seok bersekolah dengan menempuh 40 kilometer, yang tetap tersenyum dalam kondisi sesulit apapun, yang ditangisi seluruh teman-temannya dan guru sekolah ketika berpamitan putus sekolah- rasanya membuatku harus trenyuh, tak tahu apalagi yang kuperbuat.


Andai dia meneruskan sekolah, dengan otak cemerlangnya itu, ia pasti bisa jadi doktor, profesor yang berhati tulus, mulia dan berusaha memajukan pendidikan bangsanya ini demi kemaslahatan umat. Orang seperti itu jauh lebih punya nilai daripada wakil-wakil rakyat saat ini yang terlampau memuja dirinya, merasa penting, padahal tak ubahnya seperti tikus yang menggerogoti duit rakyat, mengkhianati amanah rakyat yang diembankan kepadanya. Lalu berjalan-jalan ke luar negeri, meminta fasilitas berlimpah, dan asyik tidur ketika rapat berlangsung. Potret buram majelis perpolitikan kita. Simak kata-kata Lintang pada Ikal ketika mereka bertemu di salah sebuah toko serba ada di Jakarta. “Sudahlah, Ikal. Jangan menangis. Memang ini rezekiku, “ kata Lintang pada Ikal, lalu diusapnya air mata di pipi Ikal. Waktu itu, Ikal membayangkan, andai Lintang meneruskan sekolahnya, andai...hanya andai saja, sebab hal itu tak pernah terwujud, dan Lintang masih terseok dengan usahanya sebagai buruh, memeras keringat mengejar setoran. Ah..mereka orang pandai yang kurang beruntung.



Sungguh, kawan, jika ada yang suka membaca, silakan luangkan waktu untuk membaca novel ini, Laskar Pelangi. Salah sebuah novel yang mengguncang, memberikan amanat tentang pentingnya pendidikan. Seusai membaca ini, teman-teman akan tergerak untuk segera menyelesaikan pendidikan dan memberikan sesuatu yang bernilai demi kemajuan bangsanya. Atau, mungkin kalian malah punya novel sendiri yang bernilai untuk kehidupan sendiri? Atau, buku komik, atau yang lainnya? Apapun itu, yang jelas setiap apa yang kita baca, diharapkan mengandung nilai kebermanfaatan yang positif. Jangan sampai hanya mengandung kesia-siaan belaka tanpa ada yang bisa dipetik, diambil manfaatnya. Hanya kawan-kawan sendiri yang mampu menginterpretasikan, lalu memetik amanat yang terkandung.

Sihir Perempuan

Buku ini memang kumpulan cerpen yang berkisah tentang perempuan. Tentang gerak-gerik, sepak terjang, kisah yang dibalut nuansa misteri khas perempuan, kegelapan, bau anyir darah, dan monster. Tak terbayangkan sebelumnya, penulis yang dari luar terlihat kalem ini mengembara bebas melalui tulisannya menjelajah sekat-sekat maupun ruang yang membatasi kebebasan imajinya. Ia bercerita dengan bengis, sekaligus miris dan perih.


Cerpen "Pemintal Kegelapan" mengawali dengan baik seakan menahbiskan buku ini sebagai horror book. Cerpen yang pernah dimuat Kompas ini tentang dongeng penantian seorang kekasih yang mendamba seorang pengembara. Sayang, kekasih ini hantu yang menyamar. Agar pengembara ini tidak kedinginan sepanjang usianya, ia memintal untuknya. Sebuah kegelapan. Selamanya.

Ada lagi, "Sejak Porselen Berpipi Merah Itu Pecah" yang menarik dan inspiratif. Diawali seara tak terduga, diakhiri pula oleh ketakterdugaan. Cukup mengena. Dan membius. Tapi, gara-gara ending pula cerpen "Mobil Jenazah" mengingatkan pada ending film "The Sixth Sense" yang fenomenal. Seseorang yang belum ngeh akan kematiannya sendiri.

Sementara "Polaroid" cukup mengesankan sebagai sebuah cerita misteri walau mungkin citarasanya kurang begitu eksklusif dan menggigit. Aku sedikit tahu tentang dunia fotografi gara-gara baca cerpen ini. O ya, "Darah" tampil sebagai cerpen yang ter-horror. Di awal sudah menghentak, memainkan perasaan, ketika perempuan yang mendapatkan menstruasi. Ketika bercampur dengan kegalauan dan kegelisahan. Dan, kepercayaan akan adanya monster pemakan darah kotor manusia. Meski terkesan menjijikkan, aku tiba-tiba ingat pada cerita ketika outbond pada setan yang memakan darah ini. Gila, bikin merinding!! Apalagi endingnya.

Secara keseluruhan, cerpen-cerpen ini cukup menawarkan nuansa baru. Tentang sisi gelap perempuan, darah, anyir, monster, kotor, dosa. Dipadu bahasa yang bukan hanya diksinya menonjok, namun juga alur yang membuai. Highly recomended buat dikoleksi!!!

Confessions of An Economic Hit Man

Disusun oleh John Perkins, pada awalnya, melihat buku ini sudah terbayang tema berat yang diulas. Pasti sedikit banyak menyinggung tentang kondisi ekonomi negara-negara terbelakang yang menerima bantuan dari organisasi keuangan, macam IMF, UNDP, ADB, atau asosiasi negara maju dengan berkembang. Dan, tema seperti ini yang bikin gw males. Buat apa baca seperti itu? Toh, sama saja isinya. Mengenai intrik dan koorporasi yang menjerat. Plus, bahasa teoritis yang dibumbui diksi ilmiah ala ekonomi, politik, dan hukum.

Okelah, John direkrut oleh salah seorang pihak ekonom ketika dia sudah menduduki posisi lumayan dalam perusahaan swasta. Maksudnya, direkrut ini ditawari kerja untuk membangun jaringan, menawarkan modal, mengembangkan investasi di negara-negara berkembang, macam Indonesia (well, sering sekali buku ini menyinggung tentang Jawa dan Indonesia), Panama, Ekuador, Iran, dsb. Mereka sebagai investor pada awalnya bermaksud baik hendak membangun negara tujuan. Ternyata, tujuan mereka lebih daripada itu. Ada koorporasi terselubung dan sindikat yang membentuk opini positif publik. Tujuan mereka eksploitasi sumber daya manusia dan alam sekaligus mendikte kebijakan yang berlaku di negara tersebut. Sebutlah, Panama. John Perkins membujuk agar Presiden Panama, Omar Torrijos berkenan menerima investasi yang tersedia dengan balasan-balasan tertentu. Sebelumnya, Panama telah bersedia mengizinkan USA untuk membangun terusan Panama, bahkan area di sekitarnya diklaim sbg milik USA.

Beberapa kondisi yang ada seperti ini membuat Perkins shock. Antara panggilan hati nurani, kemanusiaan, dengan idealisme. Terlebih sosok yang dikaguminya, Torrijo dibunuh komplotan CIA membuatnya berang. Lama terendapkan, akhirnya ia menulis buku ini dengan susah payah.