Selasa, 19 Agustus 2008

To Kill A Mockingbird

Judul To Kill a Mockingbird

Penulis Harper Lee

Penerbit Qanita

Tahun 2006

Jumlah halaman 512


Novel terindah sepanjang masa ini ditulis dengan sangat menawan oleh Harper Lee, sobat kental Truman Capote yang juga seorang penulis brilian (novelnya antara lain In Cold Blood). Berkat tulisannya yang fenomenal ini, Harper Lee dianugerahi penghargaan berupa Pulitzer Award tahun 1961 sekaligus Presidential Medal of Freedom 2007. Novel satu-satunya Harper Lee ini berkisah tentang kasih sayang, persamaan derajat, sekaligus prasangka yang kerapkali membutakan manusia.


Alkisah, di wilayah Maycomb County, Alabama, Atticus Finch, seorang ayah berputra dua orang, Jem dan Scout, menjadi pembela seorang pemuda kulit hitam atas tuduhan pemerkosaan. Pada kurun waktu itu, sekitar 1938, nigger (orang negro) dipandang sebelah mata oleh mayoritas penduduk kulit putih. Ia tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan kesempatan hidup terbatas. Kondisi ini diperparah oleh ketiadaan lembaga sebagai mediator pemerataan hak asasi manusia.


Maka, Tom Robinson hanyalah salah satu contoh betapa bobroknya kondisi pada saat itu, ketika manusia tidak lagi diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Ia, sebagai korban dari ketiadaan perlakuan setara sama sekali tidak memiliki hak untuk mempertahankan posisinya. Ia tak punya suara. Sebagai pihak tertuduh, Mayella Galdwell yang seharusnya jadi penuduh malah berbalik mempermainkan posisinya menjadi sang penguasa. Ah, sebenarnya hati nurani pengadilan berbicara. Sayang, mereka terlampau rapuh oleh kondisi. Dan, Rob Galdwell, ayah Mayella Galdwell, sang korban juga tak kalah bengisnya. Setiap orang yang menjadi mata rantai penegak keadilan dibabatnya tak karuan. Ia simbol kebengisan dan perasan gelap di setiap manusia. Setiap yang ada didekatnya, tak pelak akan kena dampak dari sikap jahatnya.


Ditulis melalui sudut pandang gadis cilik berusia 8 tahun, Scout Finch, novel ini sangat lugas bercerita. Tanpa tedeng aling-aling, sebab memang itu tujuannya. Apalagi yang bisa menghalangi seorang gadis cilik bercerita ketika apapun yang ada di hadapannya menjelma menjadi kekacauan, perasaan berdosa, atau kondisi yang memberatkan? Seluk beluk kehidupannya yang khas anak-anak berpadu dengan amat renyah oleh kondisi masyarakat pada saat itu. Ia juga lucu sekaligus ingin menjadi sok dewasa.


Lika-liku hidupnya terpentang bersama kakaknya, Jem Finch, mulai dari perasaan ingin tahu terhadap tetangganya yang tidak pernah keluar rumah, keluarga Radley (khususnya Boo Radley), kemudian pembantunya Cal, perasaan sebalnya terhadap Bibi Alexandria yang terlampau mengatur, hingga petualangannya yang mengasyikkan bersama dengan Dill, bocah malang yang kabur dari rumah ayah tirinya. Semuanya dibalut dengan amat menawan melalui jalinan kisah-kisah yang selalu membuat kita berefleksi dan berkontemplasi. Bahkan, sesekali kita tertawa oleh kepolosan dan keluguannya.


Sang ayah, Atticus Finch yang awalnya menjadi sosok yang lemah dan cenderung tidak mampu berbuat apa-apa, ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia patut menjadi ayah yang dikagumi anak-anaknya bukan oleh sosoknya yang memiliki kehebatan dan sikap powerfull, melainkan oleh komitmennya dalam keteguhan untuk mencari keadilan, perilakunya yang menjunjung tinggi persamaan derajat, sekaligus sobat dan kawan bagi kedua putranya yang masih mengalami proses pencarian jati diri.


Ah, tokoh-tokoh dalam novel ini memiliki karakter yang luar biasa. Ia mengajarkan bahwa kehidupan bukanlah hitam-putih, melainkan banyak hal yang harus dipelajari. Bahwa persamaan derajat harus senantiasa diberlakukan di manapun, dalam kasta sosial apapun, dan kondisi masyarakat dimanapun. Tak ada alasan bagi kita untuk memungkirinya sebab hal itu menjadi fitrah bagi umat manusia agar selalu menyadari bahwa kedudukan kita sama dan sederajat.